August 1, 2022

Life Fighter

Gue ingin, jika suatu saat nanti gue meninggal, people will remember me as a life fighter.

Never in a million time I ever imagine if I have to see my closest people gone.
Kalau pernah baca blog gue ini (ya walaupun kalau diimajinasikan, blog ini pasti debunya tebal banget setebal lemak perut gue), kalian pasti tahu kalau beberapa tahun yang lalu gue ditinggal seseorang yg tersayang. He's gone in front of my eyes.

Last year, on November 2021 to be exact, my Mom passed away.
She's gone and it broke my heart into pieces.
My mom, is the love of my life. Ya walaupun dalam kenyataannya, gue dan nyokab banyak juga ributnya, but still she's took half of my heart with her when she's gone.
Ternyata patah hatinya lebih-lebih daripada waktu ditinggal si abang.

It's so sad, but I'm so proud of my mom.
My mom is a life fighter. I even proudly say that my mom is a warrior.

My mom was diagnosed with breast cancer since 2014. 
Mastectomy for her left breast, three times chemotheraphy, avoiding bunch of her favorite food, thousand feelings of worry about her health condition, but she went through all of those for one reason. She wants to live as long as possible, so she can see her kids grown up well and get a happy life.
My mom is my superhero.

My mom is an ordinary woman, seorang ibu rumah tangga biasa yang banyak kurangnya. 
Secara akademis ya biasa saja. Pandai masak, juga nggak terlalu. She even doesn't know how to ride a motorcycle, jadi boro2 ya kayak ibu-ibu kebanyakan yg bisa naik mobil sambil pakai kaca mata hitam kece. My mom is very depending to us. She's a type of mom who only good at doing chores.
But my mom is a woman full of love. Her love for us is unlimited.
That's what make her so special.
The most important is, beliau yang mengajarkan kami untuk jangan pernah mau kalah sama hidup.

Life is hard, but God is good all the time.

Yea, sometimes she cries a lot, but next she will stand up high and go through it all.
It's okay to weak sometimes, but come back way much stronger later.

Di pemakaman Mama, semua yang datang dan mendengar cerita kami bilang kalau Mama seorang pejuang. Wajah boleh lemah, tapi mentalnya baja.
Gue masih ingat banget, di beberapa kesempatan Mama udah putus asa pingin muntah pas masa-masa kemo. Tapi dia brusaha makan apa yg bisa dimakan, dengan alasan biar kuat dan sembuh.
Mama udah susah jalan, tapi tetap mau belajar jalan, dengan alasan biar nggak ngrasa kayak orang sakit.
Dengan luka menganga di bagian dada yang bahkan nampak sedikit jantungnya, Mama masih bisa bilang, "Nggak papa Mama tahan, nanti Tuhan sembuhkan."

If one day I die, I want to be like my mom.
People remember her as a life fighter, a true warrior.
Mama mungkin tidak meninggalkan harta yang banyak, tapi selama hidupnya Mama menjadi contoh nyata kalau manusia hidup menjadi pejuang.

Buat kalian yang saat ini sedang merasa hidup lagi di bawah-bawahnya, ingatlah, ada yang lebih di bawah lagi tapi kaki mereka masih kuat berdiri dan berjalan.
Buat yang merasa kerjaan berat dan susah banget cari uang, lihat deh di sekeliling, ada yg kerjaanya lebih berat dan kadang dapatnya nggak seberapa. Mending nggak seberapa, kadang nggak ada apa-apa.

I want people remember me as a life fighter, just like my Mama did.
How about you?
What do you want people remembering you?

February 19, 2019

A Letter to God





Kalau gue boleh menuliskan sepucuk surat pada Tuhan, ini yang akan gue tulis...

Dear God...
Terima kasih sudah menciptakanku dan memberikanku kehidupan ini.
Aku tahu, bahkan dari dalam kandungan Ibuku pun, Kau sudah menuliskan cerita lengkap untuk kehidupanku. Tak ada lagi yang bisa lebih kusyukuri karena telah menjadi salah satu ciptaanMu.
Terima kasih buat orang tua yang sudah Kau berikan untukku. 
Terima kasih untuk setiap orang-orang yang pernah Kau ijinkan hadir dalam kehidupanku.
Mereka yang datang dan pergi, mereka yang membangun atau mematahkan hati, dan mereka yang pernah menulis dan menghapus setiap cerita dalam bab-bab yang ada dalam kisah kehidupanku yang Kau tulis.
Terima kasih telah hadir dalam wajah-wajah mereka.

Tuhan,
Terima kasih untuk segala hal baik yang pernah Kau berikan untukku. 
Untuk senyum, tawa, dan segala syukur yang boleh kukembalikan padaMu.
Terima kasih, bahkan untuk segala hal yang kurang baik untukku.
Aku tahu, itu bukan karena Kau membenciku. Tetapi aku tahu, Tuhan sedang mengajarkanku nilai-nilai dalam hidup. Agar aku lebih kuat, lebih tabah, dan tidak mudah koyak.

Terima kasih, cuma itu yang ingin kukatakan padaMu, Tuhan.
Walau aku seringkali menyakiti hatiMu, Engkau masih memberikanku nafas hari ini. Walau aku tahu pasti, bisa saja Kau mengambil hidup ini dalam sekejap mata.

Tuhan,
terima kasih.
Jika suatu saat tiba waktu Kau datang menjemputku, aku hanya berharap, Kau tak akan menyesal telah membiarkanku hidup.

Andai bisa gue kirimkan surat ini pada Sang Ilahi.
Ah, tak perlu.
Ia yang empunya langit dan bumi ini tak perlu jarak untuk tahu betapa bersyukurnya gue saat ini.


January 3, 2019

New Year, New Hope


I'm so done with resolution!
Satu hal yang terlintas dalam pikiran gue, beberapa hari sebelum 2018 berakhir.
Setiap tahun, gue selalu memikirkan setumpuk resolusi untuk gue lakukan di tahun yang baru. Lalu di akhir tahun, gue akan menyesali tumpukan resolusi yang tidak gue kerjakan. Ada sih yang berhasil, tapi banyak yang tidak berhasil.

Dan seperti tahun-tahun baru yang lalu, gue selalu mengawalinya dengan menulis di sini. Blog gue yang malang, yang selalu terabaikan pasca tahun baru, dengan alasan, SIBUK!
Iya, gue se-sok sibuk itu, gaes!


Belajar dari kesalahan, well... gue nggak mau buat-buat bucket list resolution lagi.
Tapi, nggak lantas gue jadi nggak punya semangat dan harapan di tahun baru ini. Ya, jelas ada lah!
Harapan gue juga nggak muluk-muluk amat.
Harapan yang muluk-muluk emangnya seperti apa?
Ya, contoh : ingin mendapatkan tubuh yang bagus seperti Gigi Hadid.


Tapi apa daya? Gue cuma mentok bisa jadi gigi geraham


Mimpi lah!

Makanya, cukup lah bikin resolusi-resolusi. Nggak harus di tahun baru juga sebenernya kalau mau bikin resolusi. Setiap saat, kita bisa kok beresolusi.

Gue cuma berharap, tahun 2019 ini bisa jadi tahun yang lebih baik.

Tahun 2018 bukan tahun yang mudah. Serius. Gue pikir, gue akan bisa lebih mudah menghadapi duka ditinggal meninggal sama pacar, ternyata, susahnya amit-amit. But, it's enough. Nangis terus-terusan juga nggak bener. Nggak lantas bikin pacar gue hidup lagi dan malah bikin gue jadi kelihatan kayak orang putus asa. Nggak bener. Makanya, beberapa bulan sebelum 2018 berakhir, gue memutuskan untuk stop berduka. Hidup gue masih panjang. Banyak hal yang masih bisa gue syukuri dengan tawa dan senyum, daripada terus fokus pada duka dan nangis terus-terusan.
Selain itu, gue agak sakit-sakitan. Sampai sempat opname. Gue harap, nggak ada lagi sakit-sakit kayak begitu di 2019.

Pertengahan tahun 2019, gue memantapkan diri untuk balik tinggal di Semarang. Gue akan kerja di tempat yang baru. Bertemu dengan orang-orang baru. Paling utamanya, gue akan kembali kumpul sama keluarga gue.
Cukup pelarian gue selama ini. Nggak ada yang paling baik selain rumah sendiri. Nggak ada yang lebih menerima lo apa adanya selain keluarga lo sendiri. Jadi, pertengahan tahun nanti, gue akan menghadapi hal yang baru.
And I'm so excited for that!

Kembali ke rumah juga membuat gue berharap, gue bisa jadi lebih sehat lagi. Sehat secara fisik, sehat secara rohani. Gue baru menyadari kalau gue ini bukan orang yang pandai me-manage stres. Gue rawan depresi. Kesendirian jelas bukan obat yang baik untuk orang seperti gue. That's why, home is gonna be the best remedy. 

Selain itu, gue juga berharap kalau gue bisa lebih rutin membaca, lebih rutin menulis, dan lebih banyak menyenangkan diri gue sendiri. Sebelum akhirnya nanti gue membuka hati untuk mencintai orang lain, alangkah baiknya gue belajar mencintai diri gue sendiri. Belajar deal dengan keadaan gue. I'm a plus size, but I'm not happy with it. Gue sadar sepenuhnya, gemuk gue bukan gemuk yang sehat. Gue nggak terlihat baik. Makanya, sedikit demi sedikit, gue mau berusaha memperbaiki pola hidup gue. Belajar menghargai tubuh yang udah Tuhan kasih ke gue dengan memperlakukan tubuh ini dengan baik. Memberikan makanan yang baik, mempercantiknya, dan melindunginya. Bukan perlahan merusaknya dengan makanan yang nggak sehat, pikiran yang negatif, terus ujung-ujungnya nyalahin tubuh ini.

It's a no.

Gue cuma ingin bisa menghargai hidup ini. Berusaha bahagia dengan apa yang gue punya. Gue tahu hidup ini nggak lantas memberikan lo jalan super mulus dan lancar, macam tol Semarang Solo, tapi gue percaya kalau gue bahagia, yah at least gue bersyukur dengan apa yang ada, hidup ini akan lebih mudah dihadapi.

Wish me luck for 2019!
I'm worried and excited in the same time. But I'm pretty sure, I will doing fine. 

Happy New Year, guys! Let's hope and do the best. 
The best hope will bring us to always be thankful in next year, or even the next years after.

January 3, 2018

Jessela - Part 4 Let It Go


4
Let It Go



Aku sengaja memilih untuk tinggal di penginapan yang tak jauh dari Gereja Ganjuran, Yogyakarta. Alasan yang mungkin terdengar terlalu sok suci. Aku hanya ingin merasa dekat dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya tidak ada yang mampu menolongku selain Tuhan, Sang Pemilik kehidupan itu sendiri.
“Maafkan saya, Jessela. Saya tidak ada maksud untuk mengorek kehidupan kamu. Sebagai dokter, saya…”
“Hanya berusaha untuk memberikan kesembuhan bagi orang yang membutuhkan.” Kataku, melanjutkan perkataannya yang tadi kupotong.
Aku tersenyum dalam usahaku meminta maaf karena telah memotong perkataanya tadi dan berusaha meyakinkan Rere kalau aku tidak menyesali keputusanku untuk menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Sejak siang tadi, laki-laki ini mendadak jadi seperti orang yang canggung. Wajahnya seperti menunjukkan perasaan bersalah. Padahal dia tidak ada salah apa-apa. Dia hanya berusaha menjadi teman perjalanan yang baik dan dia sungguh menunjukkan itikad baiknya itu sampai saat ini.
“Pasti berat ya buat kamu…”
Kami duduk di kursi paling belakang ruang ibadah. Hanya ada aku dan Rere. Penerangan redup karena hanya lampu altar dan sedikit cahaya dari ruang doa yang menyinari. Mataku memandang jauh kepada salib yang ada di dekat altar. Bertanya dalam hati pada Tuhan yang bertahta di hadiratNya sana, Apa rasanya berada di surga sana? Pasti menyenangkan tak lagi membawa beban. Kapan aku bisa pulang ke rumahku yang abadi itu?
“Biasanya aku kuat. Tetapi sejak dia meninggal, seolah kekuatanku dibawa pergi juga bersama dia. Hanya disisakan sedikit.”
Ada jeda sejenak. Waktu seolah berhenti sampai aku dapat mendengar suara angin berhembus dari pinggir jendela. Bahkan suara titik api yang membakar sumbu dari lilin-lilin yang ada di ruang doa saja tertangkap oleh gendang telingaku yang terbatas. Mendadak secara abstrak, aku ingin melebur saja rasanya. Hatiku sakit lagi.
Aku benci jadi lemah.
Aku benci menangis di depan laki-laki, apalagi laki-laki yang baru kukenal.
Aku ingin seperti kerang. Kerang yang lunak memiliki cangkang yang keras untuk melindungi dirinya. Aku butuh cangkang itu sekarang.
“Beberapa bulan yang lalu, sekitar pukul segini, Tyaga masih hidup. Dia masih meracau dan minta supaya selang di mulutnya dicabut. Matanya masih bisa memandang saya, memohon supaya ikatan di tangannya dilepaskan. Dia masih berusaha bangkit saat ibunya datang ke ruang ICU untuk melihatnya…”
Nafasku mendadak jadi sesak. Dadaku seperti penuh dengan sesuatu yang berat. Tenggorokanku tercekat membuatku sulit bernafas. Sesaat aku berharap, lebih baik aku lumpuh ingatan saja.
“Tengah malam, dokter bilang pada kami kalau Tyaga dinyatakan dalam kondisi mati batang otak. Saat itu, kekuatan saya seperti sudah hilang separuh. Menguap entah ke mana. Hati saya hancur, tapi saya masih berharap Tuhan sudi memberikan kesempatan buat saya untuk melihat Tyaga sembuh.”
Dan kali ini tidak hanya tenggorokanku saja yang tercekat. Kepalaku bahkan terasa pening dan dadaku terasa sakit. Entah sampai kapan begini? Selalu tersiksa saat mengingat Tyaga pergi.
“Tapi Tyaga ternyata tidak pernah bangun lagi, Re… Dia bahkan nggak sempat mengucapkan apapun pada saya. Hanya dua kali gerakan kecil saat terakhir saya berdoa buat dia. Setelah itu dia pergi, Re… Hati saya hancur. Sampai sekarang.”
Rere hanya diam, tidak berani menataku. Pandangan matanya lurus menghadap ke arah altar. Mungkin kalau aku yang ada di posisinya, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia pasti merasa tidak nyaman sekarang.
“Jessela, hidup dan mati itu rahasia Tuhan,” Rere berkata dengan suara sangat pelan seperti berbisik. “Aku belajar tentang itu saat aku memutuskan menjadi dokter.”
“Saya tahu, Rere… Saya tahu kalau hidup dan mati manusia itu sudah ada suratannya. Saya cuma belum bisa menghadapi sakitnya melihat kematian di depan mata saya sendiri.”
“Selama hampir 10 tahun menjadi dokter, mulai dari masa koas hingga saat ini, saya sudah melihat puluhan kematian di depan saya. Tiga di antaranya meninggal di meja bedah saya.”
Aku menoleh menatap Rere. Sementara yang ditatap masih fokus pada altar, tetapi pandangannya kosong. Ekspresinya juga kosong. Rere yang ramah mendadak seperti dingin tanpa nyawa.
“Salah satu di antara tiga itu adalah Opa saya sendiri.”
“Opa?”
Rere menoleh kepadaku, tersenyum pahit. “Iya, Je… Opa saya. Opa yang membesarkan saya sedari bayi. Kamu tahu rasanya?”
Otomatis aku menggeleng.
It feels like I was killing my own grandpa. He believed me, but I can’t keep his belief. Saya merasa seperti tak layak hidup, Jessela. Merasa tak berguna.”
Tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk dan meminta maaf pada Rere. Ternyata ceritaku malah membuka luka lamanya. Kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup memang selalu menyakitkan.
I’m sorry, Rere…”
It’s okay, Jessela…”
Rere menarik paksa seutas senyum di pipinya. Senyum yang meninggalkan setitik lesung pipi di sebelah kiri wajahnya itu. Pasti berat buat Rere, karena aku bahkan dapat merasakan aroma biru dari ekspresi wajahnya. Luka lamanya lebih menyakitkan dari milikku.
“Butuh dua tahun lebih, Jessela. Setelah Opa meninggal, saya pergi jauh dan resign dari rumah sakit tempat saya bekerja dulu. Saya merasa tidak pantas menjadi dokter. Saya tidak mau lagi membunuh siapapun.”
“Orang tuamu bagaimana?”
“Mama saya marah besar. Mama merasa saya terlalu kekanak-kanakan dan drama.”
“Papamu?”
“Papa saya jauh lebih hangat dalam membujuk saya. Papa juga kehilangan Opa. Tidak hanya saya, Opa punya peranan besar bagi hidup papa saya. He’s a great father for him, almost like a superhero for my papa. Dan papa tidak menyalahkan saya atas meninggalnya Opa. Menurut Papa, I’ll try my best already but God do the rest. Who can beat Him?
Seolah berusaha melepas beban berat di dalam dada kami, kompak aku dan Rere menghembuskan nafas berat. Misteri hidup dan mati memang akan selalu menjadi top secret-nya Tuhan. Sebagai manusia kita hanya bisa bersiap. Toh, semua akan kembali menghadapNya.
“Kamu juga sudah melakukan yang terbaik, Jessela. Jangan menyalahkan diri.”
Aku mengangguk. Rere tidak salah, tetapi aku tak yakin melakukannya semudah menganggukan kepala. Semua tentang Tyaga masih membekas jelas di dalam pikiranku. Segala rutinitas yang selalu kami lakukan dan kini tak bisa lagi kulakukan, sungguh membuat aku merasa kosong. Bayangkan saja, melihat pertandingan sepak bola saja membuatku pilu. Tyaga suka sepak bola dan mengingatnya membuatku rapuh. Konyol, namun itu kenyataannya.
“Rere? Bagaimana caranya kamu bangkit?”
“Hmm?”
“Maksud saya, gimana caranya kamu bisa berani lagi melakukan operasi? Pasti butuh sesuatu kan supaya kamu nggak lagi merasa takut?”
“Sumpah dokterku, Jessela. Sesederhana itu logika mengingatkan aku, kalau manusia seringkali terlalu dramatis. Drama yang kita buat sendiri dan menyusahkan diri sendiri.”
Aku mengernyit, agak kurang setuju. “Apa itu tidak terlalu dingin,Re?”
“Awalnya aku berpikir begitu, Jessela… Tetapi sungguh. Saat kita berpikir ulang, kamu akan menyadari bahwa move on bukan berarti kita menjadi seperti tak punya hati.”
Rere bangkit dari tempat duduknya. Matanya dengan sopan memandangku, tangannya diulur meminta ijin untuk meraih tanganku.
“Ayo kita lihat Yogyakarta di malam hari. Kita lihat, apa malam ini kamu akan tetap disiksa sama monster yang mau membunuh kamu selama ini?”
Aku menaruh tanganku di telapak tangan Rere. “Kita mau ke mana malam-malam begini? Jangan aneh-aneh ya…”
Rere tertawa lalu menarikku berdiri dari tempat tidurku. Karena tak punya tujuan, aku diam saja saat tanganku digandeng olehnya keluar dari gereja. Setelah mengangguk sopan untuk pamit pada penjaga gereja, Rere mengeluarkan sebuah kunci dari saku jaketnya.
“Sekali-kali kita melakukan hal yang tidak sehat.”
Aku langsung menarik tanganku dari Rere. Praktis menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Sebuah gesture melindungi diri. Rere mendadak nampak menyebalkan. Apalagi sekarang laki-laki ini senyum-senyum mencurigakan.
“Kamu nggak akan bawa aku ke tempat macam… sarkem kan?”
FYI, Sarkem atau Pasar Kembang adalah tempat lokalisasi terkenal di Yogyakarta. Konon katanya, Sarkem ini sudah dibangun sejak tahun 1818. Yahh, semacam Gang Doli kalau di Surabaya.
Rere tertawa lepas. Jenis tawa yang mengejek. Sementara Rere puas tertawa, aku malah jadi merasa bodoh dan malu sendiri. Wajahku mendadak terasa panas, padahal angin mala mini berhembus dingin di permukaan kulit.
“Memangnya aku ada tampang buaya darat yah?”
Aku menggeleng. “Enggak sih. Habis malam-malam dan melakukan hal yang tidak sehat, kok agak mencurigakan…”
Rere berdecak lalu mengulum senyum, “Lupa? Kalau aku ini dokter. Kalau bicara tidak sehat, yah berarti berhubungan dengan kesehatan.”
“Aktivitas di Sarkem itu juga memicu penyakit loh!” Aku membela diri, mencoba menahan malu karena sudah sok tahu.
“Makan sate, Jessela… Aku mau ngajak kamu makan sate. Makan sate malam-malam itu nggak sehat. Apalagi kalau sampai bertusuk-tusuk…”
“Oohh… Mau lah kalau itu.”




Susah Sinyal - Cerita Tentang Seorang Mama dan Anak




Ernest Prakasa and Meira Anastasia is gonna be a favorite couple goal for me!
Setelah sebelumnya gue merasa kalau Fitri Tropica dan Irvan Toge adalah couple goal, sekarang pasangan suami istri ini menjadi favorit gue. Bukan karena mereka ini selebriti. Lebih karena gue senang melihat suami istri yang bisa kompak dalam berkarya.

Setelah Ngenest dan Cek Toko Sebelah, gue bertekad untuk selalu memantau dan mengikuti semua karya Ernest Prakasa. Selain itu, Ernest adalah stand up komedian favorit gue pula. Bukan karena kami "sebangsa", no...! Ya walaupun gue bangga juga, karena ada kokoh" yang berhasil merebut hati penonton Indonesia - tak pandang ras, suku bangsa, agama, strata, jabatan, ataupun berat badan,  dengan karyanya. Positif! Bukti nyata bahwa kokoh" dan encik" itu habitatnya bukan cuma di Glodok dan ITC Mangga Dua, dan bukan hanya pemilik toko handphone ataupun pengusaha restoran Tio Ciu.



Di mata gue, Susah Sinyal adalah cerita tentang Ellen (Adinia Wirasti) dan Kiara (Aurora Ribero), seorang ibu dan anak yang belajar mengenal satu sama lain. Perjuangan Ellen sebagai seorang single parent, belum dapat dipahami oleh Kiara. Di mata Kiara, Ellen hanya peduli dengan karier. Kiara hanya ingin waktu bersama Ellen yang selama ini digantikan posisinya oleh omanya, yang tak lain adalah ibunda dari Ellen. It's all the matter of communication. That's it! Tetapi butuh sebuah perjalanan menuju Sumba yang minim sinyal ponsel untuk membuat mereka mengerti satu sama lain. Perjalanan yang rupanya tak hanya minim sinyal tapi juga minim listrik (let me laugh, hahaha!) yang membuat Ellen akhirnya paham bahwa tawa dan bahagianya Kiara itu tak terganti. Perjalanan jauh dari peradaban kota itu juga yang membuat Kiara paham kalau bagaimanapun juga, mamanya sayang dengan dia. Mereka hanya butuh terbuka satu sama lain dan tidak sok jadi kuat sendiri.
Tidak hanya Ellen dan Kiara, tetapi cerita tentang hubungan orang tua dan anak juga bisa kita dapatkan dari pasangan Cassandra (Gisela Anastasia) dan Marco (Gading Marten) yang memperebutkan hak asuh anak dalam sidang perceraian mereka. Darren, putra mereka mengatakan bahwa ia tidak butuh mainan dari mamanya, tetapi yang ia mau adalah bermain dengan mamanya. Jadi lewat Susah Sinyal, Ernest dan Meira berhasil menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran seorang mama buat anak mereka. Kehadiran, keberadaan, pelukan, dan telinga untuk mendengar jauh lebih penting bagi seorang anak daripada harta yang bergelimang.

Two thumbs up! Kalau bisa empat, jempol kaki gue juga gue acungin dah!



Masih dengan beberapa cast dari film sebelumnya, Cek Toko Sebelah, Ernest Prakasa juga masih menawarkan komedi segar ala Stand Up Comedian. Walaupun kalau dibandingkan CTS, intensitas ngakak gue masih lebih sedikit untuk Susah Sinyal ini. Good point-nya adalah Ernest dan Meira berhasil menyuguhkan kisah keluarga yang real. Gue yakin issue serupa pasti pernah terjadi untuk banyak orang tua yang punya anak remaja seumur Kiara. Bahkan anak-anak remaja yang orang tuanya sibuk berkarier, apalagi yang orang tuanya single parent, bisa jadi juga merasakan hal yang sama.

Hanya kalau boleh berharap, Ernest mungkin bisa mencoba aktor dan aktris lain untuk bisa menghadirkan warna baru di filmnya. Tidak ada yang meragukan aktris sekelas Adinia Wirasti, tetapi penonton yang bukan fans hardcore Adinia akan merasa jenuh kalau semua film di bioskop isinya Adinia saja. Sama jenuhnya waktu beberapa waktu yang lalu, Reza Rahardian terus yang wajahnya nongol di poster film bioskop Now Showing bahkan yang di Coming Soon. Gue yang fans berat Reza aja jenuh, apalagi yang biasa aja. I don't want it happen to Adinia too. I adore her, really. 

Okay, gue bukan ahli dalam memberikan review. Hanya seorang biasa yang hobi banget nonton dan berharap film Indonesia jauh lebih baik.
From 5 stars, I give this movie 4 stars.
Very recommended to watch. Nggak sia-sia lah intinya buang duit dan memperkaya Ernest Prakasa buat nonton film ini. Nggak papa Ernest kaya, yang penting dia nggak berhenti berkarya.

Happy watching!

Melawan Dunia




Setiap manusia pasti punya cerita mereka sendiri tentang melawan dunia.
Pertama kali dengar lagu ini, gue nangis sejadi-jadinya. Liriknya tidak terlalu puitis, tetapi cerita yang menjadi muse lagu ini luar biasa. Salut dan tersentuh. Barisan doa gue kirimkan buat mereka, walau gue tidak kenal mereka.

Ludi dan Ratih mungkin hanya satu dari pasangan muda dan orang tua yang luar biasa. Sepotong cinta mereka buat baby Adam mampu menggerakan hati siapapun yang mengikuti cerita mereka dari awal hingga akhir. Biarpun pada akhirnya Adam harus menyerah dan kembali pada Pencipta, kita bisa belajar bahwa berjuang itu dilakukan oleh semua manusia. Lantas, jika ada masalah, apa kita harus menyerah?

Sejak Tigor meninggal, gue selalu merasa bahwa sehebat apapun kita, hidup ini bukan milik kita. Nafas yang ada ini hanyalah pemberian Tuhan. Suatu saat, jasad kita ini hanya seonggok daging dan tulang. Lantas, apa yang harus disombongkan?
Buat gue, hidup itu tidak lagi hanya go with the flow. Hidup ini seperti pertandingan lari. Nggak heran kalau kadang kita lelah. Bukan lebay kalau kadang kita merasa mau menyerah aja. Tenaga kita terbatas. Hanya tujuan yang kuat yang bisa bikin kita terus bertahan walau lelah dan digoda rasa ingin menyerah.
Sekali lagi gue tanya, apa yang bisa disombongkan?

Harta?
Sebanyak apapun harta yang kita punya, harta tidak mampu memberikan kebahagiaan yang abadi. Harta tak mampu mengembalikan nyawa seseorang. Harta tak mampu kita bawa menghadap Sang Ilahi.

Jabatan?
Apalagi!
Surga dijanjikan buat siapapun yang percaya pada Tuhannya, melakukan apa yang menjadi kehendakNya, serta menjauhi hal yang tidak diperkenankan olehNya. Jadi bukan jaminan kalau ngana presiden, lantas pasti masuk surga. Menurut kalian, pemimpin dunia yang terkenal macam Adolf Hitler begitu, pantas masuk surga begitu saja?

Kecantikan jasmani?
Kalau tampan dan cantik mampu membuat kita bahagia, mengapa Marilyn Monroe meninggal dengan spekulasi bunuh diri?

Jadi apa yang bisa kita sombongkan?

Sama seperti Ludi dan Ratih, gue pun punya cerita sendiri tentang melawan dunia. Ludi dan Ratih melawan dunia dengan berjuang untuk tidak kalah dari penyakit Trisomy 13 yang diderita putera mereka. Gue berjuang untuk bisa meyakinkan banyak pihak, bahwa berbeda itu bukan penghalang. Gue berjuang bareng Tigor untuk meyakinkan dia, penyakit dia bukan hambatan untuk dia mengejar apa maunya dia.

Banyak hambatan.
Banyak tuduhan.
Banyak cibiran.

Tidak sekali kita mau menyerah saja.
Tidak sekali kita menangis bersama.

Dan pada akhirnya, Oktober 2017 kemarin Tigor menyelesaikan perjuangan dia. Bukan perjuangan yang sia-sia. Dia pergi meninggalkan hal baik yang selama ini dia mau. Tidak membawa harta, tidak membawa jabatan, dan tidak membawa keindahan fisik. Kenangan baik yang dia tinggalkan buat kami. Buat keluarganya, buat gue, buat murid-murid kami.
Mr Tigor, guru olahraga yang seru, lucu, baik, dan sayang sama muridnya. Mr Tigor yang walau bolak balik kumat sakitnya, masih tetap datang ke sekolah untuk mengajar murid-muridnya, walau dengan wajah dan badan yang bengkak karena efek obat dan penyakitnya.
Tigor atau Iwan - begitu biasa keluarganya memanggil dia, adalah anak yang baik dan tidak banyak menuntut bagi orang tuanya. Seorang adik yang baik di mata kakak-kakaknya. Seorang abang yang menjadi panutan dan sahabat bagi adiknya.
Tigor, sahabat dan kakak sekaligus teman spesial buat gue. Partner diskusi yang seru. Rumah kedua buat gue. Kawan berdoa dan bertumbuh iman selama 2 tahun belakangan ini. Figur yang membuat gue merasa secure untuk berbagi suka dan duka.

Perjuangan kami berdua selesai. Perjuangan Tigor melawan dunia selesai.
Gue?
Tentu belum selesai.

2017 mengajarkan gue tentang berjuang.
Gue belajar bahwa setiap harinya adalah anugerah dari Tuhan yang nggak bisa dibeli dengan uang.
Gue belajar bahwa setiap harinya merupakan kesempatan untuk menjadi baik dan lebih baik, sebelum nantinya menyesal.
Gue belajar untuk hidup sebaik mungkin, seperti layaknya itu adalah hari terakhir gue hidup di dunia.
Gue belajar bersyukur sehingga setiap saat kata menyerah muncul di pikiran gue, selalu ada alasan untuk gue bangkit walau berkali-kali jatuh tersungkur dan berdarah.
Gue belajar bahwa siapapun yang hadir dalam hidup gue merupakan orang-orang yang Tuhan kirimkan untuk menolong dan memberikan pelajaran berharga dalam hidup gue, tak peduli orang itu baik atau jahat.
Gue belajar bahwa dihina, direndahkan, dicaci maki, dan diberi cap negatif, bukan berarti gue berhak membalas semua itu dengan hal yang sama. Menjadi tetap benar itu adalah bagian gue. Karena pada saatnya gue kembali ke rumah Tuhan, tidak ada pembenaran atas hal buruk di mata Dia. Tuhan meminta umatNya tetap di jalan yang benar.

Mudah?
Tidak.

2018, gue akan terus berjuang.
Setiap hari gue lalui dalam pengharapan dan usaha.
Mungkin gue akan merasa lelah. Mungkin sesekali gue tergoda mau menyerah. Tapi gue akan selalu jadi manusia yang akan terus bangkit, walau remuk tulang lutut gue sekalipun.
Hanya Tuhan yang berhak menghentikan perjuangan gue.
Sampai nanti saatnya gue kembali bertemu dengan Tuhan, gue berharap hidup gue berkenan di mata Pencipta gue itu.

Bagaimana cerita melawan dunia kamu?

Mungkin berat tapi ku tahu,
Apa yang kita jalani,
Sulit mereka pahami...
Namun ku yakin,
Ada jalan untuk kita
Untuk kita, bersama...
Asalkan kita berani, mencinta sepenuh hati
Meski seakan,mencoba untuk bertahan
Walau dihati seakan,
Aku dan kamu melawan dunia...
(Melawan Dunia -  RAN ft Yura Yunita)