4
Let It Go
Aku sengaja memilih untuk tinggal di
penginapan yang tak jauh dari Gereja Ganjuran, Yogyakarta. Alasan yang mungkin
terdengar terlalu sok suci. Aku hanya ingin merasa dekat dengan Tuhan. Dalam
keadaan seperti ini, rasa-rasanya tidak ada yang mampu menolongku selain Tuhan,
Sang Pemilik kehidupan itu sendiri.
“Maafkan saya, Jessela. Saya tidak ada
maksud untuk mengorek kehidupan kamu. Sebagai dokter, saya…”
“Hanya berusaha untuk memberikan
kesembuhan bagi orang yang membutuhkan.” Kataku, melanjutkan perkataannya yang
tadi kupotong.
Aku tersenyum dalam usahaku meminta maaf
karena telah memotong perkataanya tadi dan berusaha meyakinkan Rere kalau aku
tidak menyesali keputusanku untuk menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Sejak
siang tadi, laki-laki ini mendadak jadi seperti orang yang canggung. Wajahnya
seperti menunjukkan perasaan bersalah. Padahal dia tidak ada salah apa-apa. Dia
hanya berusaha menjadi teman perjalanan yang baik dan dia sungguh menunjukkan
itikad baiknya itu sampai saat ini.
“Pasti berat ya buat kamu…”
Kami duduk di kursi paling belakang
ruang ibadah. Hanya ada aku dan Rere. Penerangan redup karena hanya lampu altar
dan sedikit cahaya dari ruang doa yang menyinari. Mataku memandang jauh kepada
salib yang ada di dekat altar. Bertanya dalam hati pada Tuhan yang bertahta di
hadiratNya sana, Apa rasanya berada di surga sana? Pasti menyenangkan tak lagi
membawa beban. Kapan aku bisa pulang ke rumahku yang abadi itu?
“Biasanya aku kuat. Tetapi sejak dia
meninggal, seolah kekuatanku dibawa pergi juga bersama dia. Hanya disisakan
sedikit.”
Ada jeda sejenak. Waktu seolah berhenti
sampai aku dapat mendengar suara angin berhembus dari pinggir jendela. Bahkan
suara titik api yang membakar sumbu dari lilin-lilin yang ada di ruang doa saja
tertangkap oleh gendang telingaku yang terbatas. Mendadak secara abstrak, aku
ingin melebur saja rasanya. Hatiku sakit lagi.
Aku benci jadi lemah.
Aku benci menangis di depan laki-laki,
apalagi laki-laki yang baru kukenal.
Aku ingin seperti kerang. Kerang yang
lunak memiliki cangkang yang keras untuk melindungi dirinya. Aku butuh cangkang
itu sekarang.
“Beberapa bulan yang lalu, sekitar pukul
segini, Tyaga masih hidup. Dia masih meracau dan minta supaya selang di
mulutnya dicabut. Matanya masih bisa memandang saya, memohon supaya ikatan di
tangannya dilepaskan. Dia masih berusaha bangkit saat ibunya datang ke ruang
ICU untuk melihatnya…”
Nafasku mendadak jadi sesak. Dadaku
seperti penuh dengan sesuatu yang berat. Tenggorokanku tercekat membuatku sulit
bernafas. Sesaat aku berharap, lebih baik aku lumpuh ingatan saja.
“Tengah malam, dokter bilang pada kami
kalau Tyaga dinyatakan dalam kondisi mati batang otak. Saat itu, kekuatan saya
seperti sudah hilang separuh. Menguap entah ke mana. Hati saya hancur, tapi
saya masih berharap Tuhan sudi memberikan kesempatan buat saya untuk melihat
Tyaga sembuh.”
Dan kali ini tidak hanya tenggorokanku
saja yang tercekat. Kepalaku bahkan terasa pening dan dadaku terasa sakit.
Entah sampai kapan begini? Selalu tersiksa saat mengingat Tyaga pergi.
“Tapi Tyaga ternyata tidak pernah bangun
lagi, Re… Dia bahkan nggak sempat mengucapkan apapun pada saya. Hanya dua kali
gerakan kecil saat terakhir saya berdoa buat dia. Setelah itu dia pergi, Re… Hati
saya hancur. Sampai sekarang.”
Rere hanya diam, tidak berani menataku.
Pandangan matanya lurus menghadap ke arah altar. Mungkin kalau aku yang ada di
posisinya, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia pasti merasa tidak nyaman
sekarang.
“Jessela, hidup dan mati itu rahasia
Tuhan,” Rere berkata dengan suara sangat pelan seperti berbisik. “Aku belajar
tentang itu saat aku memutuskan menjadi dokter.”
“Saya tahu, Rere… Saya tahu kalau hidup
dan mati manusia itu sudah ada suratannya. Saya cuma belum bisa menghadapi
sakitnya melihat kematian di depan mata saya sendiri.”
“Selama hampir 10 tahun menjadi dokter,
mulai dari masa koas hingga saat ini, saya sudah melihat puluhan kematian di
depan saya. Tiga di antaranya meninggal di meja bedah saya.”
Aku menoleh menatap Rere. Sementara yang
ditatap masih fokus pada altar, tetapi pandangannya kosong. Ekspresinya juga
kosong. Rere yang ramah mendadak seperti dingin tanpa nyawa.
“Salah satu di antara tiga itu adalah Opa
saya sendiri.”
“Opa?”
Rere menoleh kepadaku, tersenyum pahit.
“Iya, Je… Opa saya. Opa yang membesarkan saya sedari bayi. Kamu tahu rasanya?”
Otomatis aku menggeleng.
“It
feels like I was killing my own grandpa. He believed me, but I can’t keep his
belief. Saya merasa seperti tak layak hidup, Jessela. Merasa tak berguna.”
Tak ada yang bisa kulakukan selain
menunduk dan meminta maaf pada Rere. Ternyata ceritaku malah membuka luka
lamanya. Kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup memang selalu
menyakitkan.
“I’m
sorry, Rere…”
“It’s
okay, Jessela…”
Rere menarik paksa seutas senyum di
pipinya. Senyum yang meninggalkan setitik lesung pipi di sebelah kiri wajahnya
itu. Pasti berat buat Rere, karena aku bahkan dapat merasakan aroma biru dari
ekspresi wajahnya. Luka lamanya lebih menyakitkan dari milikku.
“Butuh dua tahun lebih, Jessela. Setelah
Opa meninggal, saya pergi jauh dan resign
dari rumah sakit tempat saya bekerja dulu. Saya merasa tidak pantas menjadi
dokter. Saya tidak mau lagi membunuh siapapun.”
“Orang tuamu bagaimana?”
“Mama saya marah besar. Mama merasa saya
terlalu kekanak-kanakan dan drama.”
“Papamu?”
“Papa saya jauh lebih hangat dalam
membujuk saya. Papa juga kehilangan Opa. Tidak hanya saya, Opa punya peranan
besar bagi hidup papa saya. He’s a great
father for him, almost like a superhero for my papa. Dan papa tidak
menyalahkan saya atas meninggalnya Opa. Menurut Papa, I’ll try my best already but God do the rest. Who can beat Him?”
Seolah berusaha melepas beban berat di
dalam dada kami, kompak aku dan Rere menghembuskan nafas berat. Misteri hidup
dan mati memang akan selalu menjadi top
secret-nya Tuhan. Sebagai manusia kita hanya bisa bersiap. Toh, semua akan
kembali menghadapNya.
“Kamu juga sudah melakukan yang terbaik,
Jessela. Jangan menyalahkan diri.”
Aku mengangguk. Rere tidak salah, tetapi
aku tak yakin melakukannya semudah menganggukan kepala. Semua tentang Tyaga
masih membekas jelas di dalam pikiranku. Segala rutinitas yang selalu kami lakukan
dan kini tak bisa lagi kulakukan, sungguh membuat aku merasa kosong. Bayangkan
saja, melihat pertandingan sepak bola saja membuatku pilu. Tyaga suka sepak
bola dan mengingatnya membuatku rapuh. Konyol, namun itu kenyataannya.
“Rere? Bagaimana caranya kamu bangkit?”
“Hmm?”
“Maksud saya, gimana caranya kamu bisa
berani lagi melakukan operasi? Pasti butuh sesuatu kan supaya kamu nggak lagi
merasa takut?”
“Sumpah dokterku, Jessela. Sesederhana
itu logika mengingatkan aku, kalau manusia seringkali terlalu dramatis. Drama
yang kita buat sendiri dan menyusahkan diri sendiri.”
Aku mengernyit, agak kurang setuju. “Apa
itu tidak terlalu dingin,Re?”
“Awalnya aku berpikir begitu, Jessela…
Tetapi sungguh. Saat kita berpikir ulang, kamu akan menyadari bahwa move on bukan berarti kita menjadi
seperti tak punya hati.”
Rere bangkit dari tempat duduknya.
Matanya dengan sopan memandangku, tangannya diulur meminta ijin untuk meraih
tanganku.
“Ayo kita lihat Yogyakarta di malam
hari. Kita lihat, apa malam ini kamu akan tetap disiksa sama monster yang mau
membunuh kamu selama ini?”
Aku menaruh tanganku di telapak tangan
Rere. “Kita mau ke mana malam-malam begini? Jangan aneh-aneh ya…”
Rere tertawa lalu menarikku berdiri dari
tempat tidurku. Karena tak punya tujuan, aku diam saja saat tanganku digandeng
olehnya keluar dari gereja. Setelah mengangguk sopan untuk pamit pada penjaga
gereja, Rere mengeluarkan sebuah kunci dari saku jaketnya.
“Sekali-kali kita melakukan hal yang
tidak sehat.”
Aku langsung menarik tanganku dari Rere.
Praktis menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Sebuah gesture melindungi
diri. Rere mendadak nampak menyebalkan. Apalagi sekarang laki-laki ini
senyum-senyum mencurigakan.
“Kamu nggak akan bawa aku ke tempat
macam… sarkem kan?”
FYI, Sarkem atau Pasar Kembang adalah
tempat lokalisasi terkenal di Yogyakarta. Konon katanya, Sarkem ini sudah
dibangun sejak tahun 1818. Yahh, semacam Gang Doli kalau di Surabaya.
Rere tertawa lepas. Jenis tawa yang
mengejek. Sementara Rere puas tertawa, aku malah jadi merasa bodoh dan malu
sendiri. Wajahku mendadak terasa panas, padahal angin mala mini berhembus
dingin di permukaan kulit.
“Memangnya aku ada tampang buaya darat
yah?”
Aku menggeleng. “Enggak sih. Habis
malam-malam dan melakukan hal yang tidak sehat, kok agak mencurigakan…”
Rere berdecak lalu mengulum senyum, “Lupa?
Kalau aku ini dokter. Kalau bicara tidak sehat, yah berarti berhubungan dengan
kesehatan.”
“Aktivitas di Sarkem itu juga memicu
penyakit loh!” Aku membela diri, mencoba menahan malu karena sudah sok tahu.
“Makan sate, Jessela… Aku mau ngajak
kamu makan sate. Makan sate malam-malam itu nggak sehat. Apalagi kalau sampai
bertusuk-tusuk…”
“Oohh… Mau lah kalau itu.”